Akademika Versus Politika
Oleh Siti Raudhatul Jannah
Kampus berwarna Kuning gading itu nampak hidup di sore yang panas di bulan September. Tahun ajaran baru telah tiba. Ribuan mahasiswa nampak berbondong-bondong memasuki kelas, sebagian lainnya ke masjid untuk berdiskusi. Di mana-mana nampak gerombolan diskusi kecil. Ada yang beranggotakan delapan orang, ada pula sekelompok mahasiswi yang asyik tahfid qur’an.
Di beberapa ruang utama, lima seminar digelar sekaligus. Temanya beragam, pendidikan, keislaman, high tech, penulisan karya ilmiah dan tentang wanita. Dua di antaranya bernara sumber profesor yang semuanya berasal dari kampus itu sendiri. Sisanya, mengundang guru besar dari Jakarta dan Surabaya. Menilik suasananya, jarang ada mahasiswa yang apatis, sebagian besar berperan aktif, bahkan tak sedikit yang berapi-api saat menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Tak hendak kalah dari mahasiswanya, puluhan dosen nampak bercengkrama membahas pola dan metode pengajaran kepada mahasiswanya. Tak jarang muncul celetukan nakal manakala salah satu di antara mereka kagok saat mengemukakan pendapatnya.
Suasana hidup yang dipenuhi dengan nafas akademik itu tidak terbangun dalam sekejap.
Sepuluh tahun lampau, kampus yang sama hanya mengenal demo tak bernalar. Ada kebijakan baru dari petinggi kampus, demo. Ada pemilihan pimpinan, demo. Mahasiswa keberatan ditarik dana KKN, demo. Pokoknya serba demonstrasi. Parahnya, unjuk rasa massa yang dilakukan mahasiswa cenderung anarkis. Kegiatan yang bertolak belakang dengan tujuan pendirian lembaga pendidikan tersebut, jelas mengundang hasrat jurnalis untuk meliputnya, memberitakannnya. Tak heran bila kampus yang terletak di antara perumahan kelas atas dan kampung kumuh itu cenderung dijauhi calon mahasiswa. Kalau pun ada, jumlahnya tak lebih dari lima ratus kepala.
Arogansi dan anarkisme yang muncul tidak berdiri sendiri. Dosen, pengelola dan civitas lainnya cenderung mengambil keuntungan sepihak dari karakteristik mahasiswa yang mudah tersulut hal-hal politik itu. Tiap ada kepentingan salah satu pihak terganggu, berlombalah mereka untuk mempergunakan mahasiswa sebagai ujung tombak menyasar kepentingan lawan. Tak peduli betapa terganggunya kepentingan mahasiswa, pihak lain terus saja menjadi korek pemicu konflik. Akibatnya, mahasiswa tak sempat berpikir tentang mutu akademik, mereka senantiasa disibukkan oleh kepentingan-kepentingan pihak lain yang senantiasa menarget mereka untuk bersuara keras.
Efek ganda dari pembiasaan politika dibanding akademika di kampus tersebut, berimbas pada kualiats out put. Tak sedikit di antara sarjana yang dihasilkannya, jauh di bawah standar mutu yang seharusnya diraih oleh sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri. Tragisnya, pada bidang yang seharusnya menjadi garapan sarjana Kampus Kuning Gading, misalnya hakim agama, wartawan, guru dan bankir, sama sekali tak menyisakan lowongan bagi alumni lembaga dimaksud. Lebih parah lagi, hampir tiap bulan, warga sekitar berhasil me-massa mahasiswa yang kedapatan berzina, minimal berduaan di kamar tidur mahasiswi perguruan tinggi berlabel agama ini.
Lengkaplah sudah ‘penderitaan’ si Kampus Kuning Gading. Tak ada lagi identitas tersisa yang layak dibanggakan, minimal dipertahankan sebagai kehormatan di hadapan alumni, masyarakat dan civitas akademika.
Menjelang titik nadir keterpurukannya, beberapa dosen dan mahasiswa bergerak untuk lebih berkiprah di bidang akademik, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Setahap demi tahap, kelompok diskusi ilmiah bermunculan. Forum rumpi mulai tersingkir, hingga akhirnya tak ada ruang lagi untuk ghibah. Bersamaan dengan meningkatnya suhu keislaman di kampus tersebut, kecintaan civitas akademika terhadap buku dan sumber pengetahuan lainnya meningkat tajam. Toko-toko buku bertebaran, masjid yang terletak di ujung barat kampus tak pernah sepi dari halaqoh-halaqoh kecil. Tak dijumpai lagi mahasiswa-mahasiswi berboncengan erat sampai paha mereka bersinggungan satu dengan yang lain. Bahkan sulit menemukan busana ketat di tubuh para mahasiswinya.
Kini, Kampus Kuning Gading menjadi perguruan tinggi bergengsi. Sepuluh profesor menjadi pengajar tetap di kelas-kelas, begitu pula dengan 40 doktor yang separuhnya berasal dari perguruan tinggi Eropa dan Amerika. Semua ruang kelas memiliki perangkat komputer yang terhubung dengan internet. Uniknya, tegur sapa ala Inggris dan Saudi Arabia mengemuka di mana-mana. “Assalamualaikum ya ukhti. Excuse me, Could you tell me how often the discussion at 7 class?. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar