Menanti Mukjizat
Oleh Siti Raudhatul Jannah
Seperti hari-hari sebelumnya, Pak Munir bergegas berangkat ke pasar usai solat subuh di rumahnya di kawasan Mangli selatan. Bahunya yang ringkih segera memanggul sepikul tape singkong. Dengan semangat empat lima, bapak dua anak itu berjalan tanpa alas kaki ke arah pasar Mangli. Kali ini dia lebih bersemangat dibanding hari-hari sebelumnya, maklumlah, berat tape yang dipikulnya hampir dua kali lipat biasanya.Terbayang dibenaknya, hari ini dapat membawa pulang minimal Rp 30 ribu, keuntungan berjualan tape setelah dipotong biaya bahan dan produksi yang mencapai Rp 25 ribu akan didapatnya.
Dia berharap dagangannya laris seperti sebelumnya, sehingga dapat membelikan obat turun panas bagi putra bungsunya. Ya, seminggu terakhir Pak Munir gundah karena si bungsu yang baru 16 tahun rajin mengerang akibat panas-dingin yang dideritanya. Tentu dia khawatir putra satu-satunya itu menderita flu burung atau sejenisnya. Kesedihan akibat kehilangan putri pertamanya masih terbayang di pelupuk matanya. Saat itu dia pikir si sulung sakit panas biasa. Nyatanya tiga hari kemudian justru koma, di hari yang sama dia menguburkannya di pemakaman umum desanya.
Tak ingin hal serupa terulang, Pak Munir semakin cepat mengayuh langkahnya. Tak sampai 20 menit kemudian, dingklik beratap rumbia yang menjadi lokasi mangkalnya tiap hari, sejak 8 tahun silam, sudah didudukinya. Ditatanya tak plastik kresek berwarna merah di samping timbangan tua dan daun pisang yang akan digunakannya sebagai bungkus tape. Sumringah di wajah Pak Munir kian kentara manakala Ibu Suti, pedagang gorengan di pasar yang sama, menjadi pelanggan pertamanya. Ya, pembeli setianya itu selalu memborong di atas tiga kilogram tiap pagi.
“Gimana kabarnya buk, hari ini berapa kilo?”Sapanya sembari tersenyum. “Genapin lima kilo Pak Munir, kemarin saya kehabisan stok,” jawab Ibu Suti. Mendengar ucapan pelanggannya, sinar mata Pak Munir semakin terang. Dibukanya daun pisang penutup gundukan tape. Deg, dadanya langsung berdesir manakala melihat potongan ketela yang masih sesuai aslinya. Ragi yang seharusnya mengubah tekstur singkong menjadi lembut dengan warna keputihan, nampak masih nangkring di sela-sela barisan potongan ketela. “Oalah mak, apa yang salah dengan tapeku,” pekiknya. Bersegera dia menyingkap tutup keranjang tape lainnya dengan harapan tak mengalami nasib serupa.
Harapan tinggal harapan, dua keranjang tape bikinannya sama-sama belum jadi. Mana ada yang mau mengkonsumsi tape setengah jadi? Disebut ketela pohon sudah berasa kecut, disebut tape namun masih sekeras aslinya. Dengan penuh penyesalan dia meminta maaf kepada Ibu Suti. “Besok saja ya bu, kali ini tape saya tidak jadi,” ujarnya lirih,seumur-umur dia belum pernah mengalami kejadian demikian. Tapenya selalu matang dan legit. Bu Suti pun berlalu, keluh-kesahnya menyambar telinga Pak Munir, maklum, dia terpaksa mencari kepada pedagang lain dengan konsekuensi harga lebih mahal.
Di tengah rasa putus asa, terbersit harapan di dada Pak Munir. Dia yakin, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Lalu ditengadahkannya kepala sambil berdoa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang butuh pertolongan ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah ketela ini menjadi tape. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku.” Dalam hati dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.
Pelan-pelan dia tutup kembali dua keranjang tapenya. Tak sampai lima menit berlalu, pembeli berdatangan kepadanya, namun dia tidak berani menjual tape yang belum jadi itu. Dia berharap, Allah menghargai pengorbanannya yang tidak mau menipu pembelinya dengan tape yang belum matang. “Ya Allah, aku rela tapeku belum jadi saat ini, namun bantulah HambaMu ini, matangkanlah dalam dua jam ke depan.”
Manakala jarum jam di toko depan gubuknya berdentang sembilan kali, perlahan dia buka kembali penutup tapenya. Doa tak henti berkumandang dari bibirnya. Dadanya bergemuruh. Srett, matanya nanar menyaksikan singkongnya belum juga bermetamorfosa menjadi tempe. Pak Munir sangat kecewa. Singkong itu masih seperti semula. Namun Pak Munir berusaha tegar. Ditunggunya mukjizat Allah yang dia tahu dijanjikan kepada hamba yang berusaha keras namun tetap tawakkal padaNya. Dia yakin Allah pasti sedang memproses doanya. Dan tape itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Komat-kamit bibirnya bersuara: Ya Allah, hamba hanya bisa membuat tape dan berjualan tape untuk jalan beribadah kepadaMu, uang dari jualan tape ini untuk obat anak hamba. Ya Allah, jangan biarkan hamba punya pikiran jelek tentangMu. Bantulah hamba Ya Allah, jadikanlah tape ini segera karena pengunjung pasar semakin berkurang. Ya Allah, kabulkanlah doaku.”
Harapan Pak Munir masih tetap ada meski jam berdentang sepuluh kali. Dengan harap cemas dia buka kembali tutup keranjang tapenya, srett. “Pasti sekarang telah jadi tape,” batinnya. “Hah”, Pak Munir tak bisa mengendalikan emosinya. Tape itu belum jadi juga. Spontan air mata kecewa memenuhi kelopak matanya. “Mengapa doaku tidak dikabulkan Allah? Apa salahku, solatku sudah rajin sejak muda, namun singkong ini tetap mogok juga. Allah tidak adil kepadaku, apa salahku?” Batinnya.
Sembari bersandar di salah satu tiang gubuknya, Pak Munir terus menanyakan komitmen Allah untuk membantu makhluknya yang tengah kesulitan. Betapa Allah sangat tega padanya, gugatnya. Dipandanginya tape mentah di hadapannya, kini dibiarkannya terbuka. Tak ada niat di benaknya untuk yakin kembali, menutupi tapenya lagi, untuk kemudian membukanya dengan penuh harapan. Saat bersamaan, terbayang pula kesakitan yang diderita anaknya, semakin deras pula aliran air dari matanya.
Pada saat konsentrasi Pak Munir hanya tertuju pada penderitaannya, seorang ibu yang juga jadi pelangganya datang sembari tersenyum. “Pak Munir, apa kabar. Lama saya tak bertemu sampean. Anu pak, apa masih punya simpanan tape setengah jadi di rumah?Anak saya ingin pulang ke Bandung, ingin membawa oleh-oleh tape kepada tetangganya. Kalau ada yang setengah jadi kan enak, sampai di sana sudah matang. Kalau bawa yang sudah matang, sampai di sana pasti sudah basi,” paparnya panjang lebar. Melongo, Pak Munir tak sempat menjawab akibat keterkejutannya. “Sepertinya tape yang ini juga setengah matang ya Pak Munir, saya borong yang ini saja ya, semuanya deh biar cukup untuk dibagi-bagikan. Berapa semuanya pak?”
Terbata, Pak Munir menyebutkn harganya. Tepat pukul setengah sebelas siang, semua dagangannya lenyap tak bersisa.Kali ini ucapan syukur tak henti dilafalkannya:Ya Allah, hamba telah berburuk sangka kepadaMu, maafkan hamba ya Allah. Terimakasih ya Allah, terimakasih.” Dengan riang dia kemasi keranjangnya, jika biasanya Pak Munir naik lin saat pulang jualan, kali ini pilih berjalan kaki. “Saya telah bersalah kepadaMu dengan menyangsikan kebaikanMu, hamba akan tebus dengan berjalan kaki saja ke rumah, sambil berdzikir kepadaMu.”Tekadnya. Dia berjanji, ke depan tak akan pernah suudzon lagi kepada penciptanya, karena sejatinya Allah tak pernah membiarkan hambanya terpuruk tanpa alasan. Dia yakin seyakin-yakinnya, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar