Rabu, 12 Desember 2007

Ahmad dan Kernet Lin

Ahmad dan Kernet Lin

Oleh Siti Raudhatul Jannah

Pagi itu biasa-biasa saja, tak kualami kejadian menakjubkan, kalau tak dikatakan sedatar permukaan air di dalam sebuah gelas. Namun tak demikian halnya ketika kunaiki sebuah angkot jurusan Jember, tepat pukul sembilan. Lin jurusan Arjasa itu mempertemukanku dengan seorang anak seusia siswa kelas satu sekolah dasar. Sebut saja Ahmad. Anak bertubuh ceking itu nampak menutupi wajah ibunya dari pandanganku yang duduk tepat di depan mereka. Maklum, si tole duduk tepat di pangkuan perempuan tengah baya bertubuh ringkih itu.

Entah mengapa Ahmad memilih ‘kedudukan’ di sana. Padahal masih sekitar tiga ‘jatah’ tempat duduk yang masih kosong, kenapa dia memilih ‘mengganggu’ ibunya? Sedetik kemudian kusimpulkan alangkah manjanya anak ini. Sudah 7 tahun-an kok masih ‘ngalem’.

Wah, anak sekarang ini sudah keterlaluan, tak cukup menyusahkan ibunya kala di kandungan dan balita. Sudah menginjak sekolah dasar pun masih tega merepotkan ibu berwajah murung itu.

Tak tahan dengan kesimpulan itu, aku bertanya kepada ibunya, mengapa anaknya tak didudukkan di sampingnya saja?Toh masih ada tempat duduk tersisa.

“Iya mas, sesungguhnya Ahmad maunya duduk di sebelah saya saja,” ujarnya sembari mengenalkan nama,usia dan sekolah anaknya. “Tapi dia sakit tipes (Thypus), sudah seminggu ini. Jadinya saya tak tega, takut dia pusing dan muntah di jalan,” papar sang ibu panjang lebar. “Oh,’ sahutku berusaha memakluminya.

Kulihat wajah si Ahmad memang mendung, matanya tak bersinar seperti laiknya anak yang sehat, bibirnya pun terlihat pucat. Sesekali tangan kurusnya memegangi tangan ibunya manakala lin berhenti mendadak karena si sopir mengira ada calon penumpang di kiri-kanan sepanjang Jalan Hayam Wuruk.

Rasa kasihan mulai menghantuiku, menyisir habis ‘tuduhan’ suudzon di awal pertemuan. Lalu kutanyakan kepada si ibu, hendak ke manakah sehingga harus membawa Ahmad yang sakit itu naik lin. Kupikir dia mau menjawab hendak periksa ke dokter. Namun tidak, jawabannya membuatku semakin penasaran untuk tahu lebih jauh. “Kami mau ke pak lik-nya Ahmad di Arjasa. Kami dari Pasuruan. Habis subuh kami berangkat. Kami ingin minta uang kepada keluarga bapaknya Ahmad di Arjasa. Kalau ada uang, baru saya bawa ke rumah sakit.”

“Memang bapaknya Ahmad ke mana bu. Kok harus mencari pak lik-nya yang jauh dari rumah?”

“Oh, anu mas, sejak dalam kandungan Ahmad sudah yatim. Bapaknya meninggal ketika kerja di proyek bangunan di Pasuruan. Dia jatuh dari lantai dua, kepalanya pecah dan langsung meninggal di tempat.”

Cerita si ibu berhenti manakala Ahmad terlihat hendak muntah. Dipijatnya tengkuknya pelan-pelan. Sampai sejauh itu, penumpang lain tak hendak membantu si ibu untuk mengurangi kemungkinan mualnya si Ahmad, memberi minyak angin kek, permen kek, atau sekedar sapu tangan dan tisu untuk membersihkan keringat dinginnya yang rajin menitik di kening dan lehernya. Aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat menyaksikan peristiwa tersebut.

Lalu kuusulkan agar Ahmad pindah ke samping ibunya saja, agar kepalanya didekap sehingga dapat mengurangi guncangan akibat laju lin. Mendengar usulku, beberapa penumpang lain, terutama ibunya Ahmad, langsung menoleh kepada pria yang duduk di dekat pintu jalan keluar lin. Tentu saja, otomatis aku pun mengikuti pandangan yang tertuju pada seseorang itu.

Mungkin pria bertubuh kekar itu merasa kalau dirinya jadi pusat perhatian, dia langsung menatap titik hitam di mataku. “Kalau mau duduk sendiri harus bayar. Kalau tak mau bayar, ya harus dipangku,”ketusnya.

Masyaallah, ini persoalan uang toh. Sampai-sampai si Ahmad yang yatim itu harus tersiksa sejak dari Tawang Alun tadi. Kurogoh dompetku, di sana ada uang Rp 9 ribu, cukup untuk membayari aku, ibunya si Ahmad dan si Sakit yang terlihat kelelahan itu.

Namun demikian aku tak serta-merta memberikan uang itu pada si kernet. Aku berusaha menggugah nuraninya agar turut bersimpati pada si miskin itu. “Kan tempat duduknya masih tersisa pak, kalau penumpangnya penuh tak apalah dipangku. Lagipula dia sedang sakit, yatim pula. Gimana pak, boleh dia duduk di samping ibunya tapi tak usah bayar?”tawarku.

Tak kusangka dan tak dinyana, dengan suara baritonya yang tinggi dia menukas.”Ini bukan yayasan mas, kami juga butuh makan, kami ini kerja, kalau penumpang tak bayar, kami bisa bangkrut.”

Allahu Akbar. Ragaku seakan melayang, kalau aku seorang Mike Tyson, mungkin sudah kujotos hitung pak kernet yang gagah itu. Kurang ajar sekali dia, ucapan yang kusampaikan dengan hati-hati itu dijawabnya dengan angkara. Sedetik kemudian kurogoh dompetku, kukeluarkan uang Rp 6 ribu.”Ini ongkos buat kami bertiga, tolong antar ibu ini sampai terminal Arjasa dan biarkan si Ahmad duduk di samping ibunya. Uang ini cukup kan pak? Kataku dengan nada bergetar.

Seakan tak hendak melihat wajahku, si kernet langsung menyabet enam ribu rupiah itu dari tanganku.

Sampai sejauh itu, tak ada tatapan simpati dari sekitar 6 penumpang yang terarah ke wajahku. Namun aku tak peduli. Untung saja, sedetik kemudian aku harus turun di sebuah penyeberangan sehingga tak harus berlama-lama semobil dengan pak kernet itu. Tapi, bagaimana dengan Ahmad dan ibunya? Bagaimana perlakuan si kernet nanti kepadanya? Ingat akan hal ini, kutoleh sekilas keduanya yang nampak tersenyum tipis.”Terimakasih ya mas,”ujar si ibu. Kuanggukkan kepalaku ringan. Ucapan penuh syukur itu kian melecutku untuk membentengi mereka dari tindakan tak wajar si kernet. Sesaat sebelum turun lin, kutatap pak kernet dengan penuh pengharapan.”Pak, tolong mereka berdua dijaga ya, kalau Ahmad tidak yatim, tak apalah bapak bersikap tegas seperti tadi. Kalau tidak Bapak yang menyayangi dia, siapa lagi yang mau peduli.”

Seperti dugaanku semula, ucapanku itu laiknya angin lalu. Jangankan menoleh ke arahku, dia malah asyik menghitung ongkos pembayaran dari penumpang, seakan tak pernah mendengar apa-apa dariku. Subhanallah, ya sudahlah, hanya sampai di situ usahaku menolong si Ahmad dan ibunya. Kuminta sopir lin menghentikan laju mobil. Tak kutoleh lagi ibu dan anak itu, apalagi penumpang lainnya. Ketika tanah sudah kutapak, tanya segera bergelayut di kepalaku, apakah aku sudah tak wajar memperlakukan si kernet, Ahmad dan dalam menilai sikap para penumpang yang terkesan cuek kepada derita Ahmad? Padahal aku yakin kernet dan penumpang lain banyak yang beragama Islam, tapi mengapa tak kutemukan kesesuaian sikap mereka dengan tuntunan Al-qur’an yang kubaca? Kitab suci itu jelas-jelas menempatkan yatim sebagai manusia yang perlu perlindungan dan santunan dari orang sekitarnya. Tapi mengapa mereka tidak peduli ya. Ah, aku tidak habis mengerti, aku sungguh pusing memikirkan sikap mereka.@

Tidak ada komentar: