Antara Mercy dan Anakku
By Siti Raudhatul Jannah
Mata Amir mendadak membara melihat mobil Mercy-nya bergaris melintang dari buritan sampai di bawah jendela depan, bagian kiri. Alam bawah sadarnya menyebutkan ada penghinaan terhadap barang kesayangannya, berarti juga terhadap dirinya. Belum lagi membayangkan uang jutaan rupiah yang harus dia keluarkan untuk mengecat ulang roda empat berwarna hitam metalik itu. Untuk sekelas pegawai negeri golongan tiga seperti dirinya, keluaran Eropa itu sangat bernilai, ia adalah harga dirinya, kebanggaannya, jati dirinya bahkan mungkin sebagian dari nyawanya.
Tak pelak, nanar di matanya langsung mengarah kepada si sulung yang terlihat ketakutan begitu Amir mencarinya. “Siapa yang menoreh mobil sampai terkelupas sepanjang itu?Hayo ngaku,” dakwanya kepada si sulung yang mengkeret ketakutan di samping ibunya yang tengah memasak.
Anak tujuh tahun itu tak berani menantang wajah Amir, buliran bening menderas di pipinya. Namun aksi tersebut tak mengesankan Amir. Ditariknya siswa kelas satu SD itu ke hadapannya. “Pakai apa nyoretnya? Kenapa pakai corat-coret di mobil segala?”
Gagap, laki-laki kecil itu menyebut pisau dapur sebagai penyebab terkelupasnya cat mobil kesayangan bapaknya tersebut. Namun dia tidak berani mengungkapkan alasan sampai ‘tega menyakiti’ kesayangan si bapak. Tentu saja, Amir tak puas dengan jawaban sederhana itu. Dihelanya lengan si kecil, ‘disimpannya’ dia di dalam kamar kemudian dikunci dari luar. “Tak boleh ada yang ngasih makan dan minum si Ali, biarkan dia di kamar sampai menyesali perbuatannya,” tegas Amir pada istrinya yang sedang menggendong bungsunya.
Tentu saja, ibu dua anak itu tak berani melawan sang suami yang tengah kalap. Sembari menyeka air mata yang menggenang, dia bergegas ke halaman untuk kemudian pura-pura asyik menyapu.
Sebaliknya, Amir tak henti menggerutu, dipandanginya goresan yang panjangnya mencapai dua meter itu dengan hati pilu. Ya, Tuhan, apa salah hamba sehingga harus mengalami musibah ini?Gugatnya. Dielusnya permukaan cat yang tidak rata itu, seakan hendak meminta maaf karena tak bisa menjaganya dari tangan jahil. Manakala ingat kembali besaran uang yang akan dia keluarkan untuk memuluskannya kembali, sontak kemarahannya meledak-ledak.
Tangisan si sulung yang kian mengeras membuatnya lupa diri, dibukanya pintu kamar, diambilnya sebuah ikat pinggang. Bertubi-tubi, ujung besi yang menghiasi pengetat pinggangnya itu mampir di tubuh Ali. Pada pukulan ke dua puluh, Ali ambruk dengan tubuh penuh memar. Ibunya tak tahan menyaksikan penderitaan putranya, diterobosnya Amir, lalu dipeluknya si kecil. “Ongkos yang harus kau keluarkan untuk mengobati anak ini jauh lebih besar daripada biaya memperbaiki mobil itu,” isak istrinya.
Kejadian lima tahun silam itu tak lagi membekas di benak Amir, mobilnya pun telah berganti dengan keluaran terbaru dari Jepang. Namun tak demikian dengan Ali. Di benak remaja yang memasuki SMP itu, sosok sang ayah yang sesungguhnya jarang memarahinya itu, termasuk manusia menakutkan. Sejak menghukumnya demi mobil kesayangannya dulu, dia merasa tak banyak berarti bagi keluarga. Dia berkeyakinan, bapaknya lebih cinta benda kesayangannya dibandingkan dirinya. Perasaan yang menderanya itu berbekas hingga kini.
Imbasnya, seringkali Ali tidak percaya diri manakala ada kegiatan berkelompok. Bahkan di kegiatan ekstra kurikuler KIR yang diikutinya, dia tidak banyak berperan. Ali tak punya cukup keberanian untuk menunjukkan kemampuannya, dia khawatir salah, takut dipermalukan, takut gagal.
Praktis sejak kelas dua SD dia tak pernah menjuarai lomba apapun, di kelas juga tak pernah masuk sepuluh besar. Bahkan saat kelas tiga SD dia hampir tak naik kelas karena tak ada nilai di atas enam untuk semua mata pelajaran yang diikutinya.
Sikap pada bapaknya pun tak lagi mesra. Pasca bentakan dan pukulan yang membuatnya terkapar selama seminggu itu, tak pernah dia bercengkrama dengan nyaman. Kalaupun sempat bercanda di rumah, pasti hanya dengan ibunya. Begitu ayahnya hendak bergabung, Ali langsung menarik diri, kembali pada kediamannya.
Ali juga kesulitan berkomunikasi dengan guru-guru lelakinya. Sosok bapaknya yang keras langsung tergambar di kelopak matanya ketika berhadapan dengan mereka. Tak heran bila dia termasuk murid yang paling jarang berbicara dengan gurunya. Salah seorang pengajarnya sempat melaporkan sikap Ali kepada Amir. Kontan Amir tersentak mendengar penuturan sang guru. Ingatan terhadap pemukulan yang pernah dilakukannya dahulu membuatnya terhenyak, tak menyangka akibatnya sangat fatal bagi masa depan putranya. Upaya pendekatan yang dilakukannya pada Ali nampaknya sudah terlambat. Remaja tanggung itu bergeming, bahkan terkesan menarik diri.
“Maaf Pak, saya mau belajar,” tolaknya ketika Amir mencoba mengajaknya bicara tentang prestasi dan sikapnya di sekolah. Tinggallah Amir menyesali diri, andaikan dia lebih sabar dalam mendidik titipan Allah itu kepadanya, tentu Ali tak sependiam kini. Ah, kesalahan itu akan segera ditebusnya. Dia tak ingin putranya keok, enggan bersaing di tengah 200 juta rakyat Indonesia yang berjibaku berebut masa depan yang lebih baik.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar