Rabu, 12 Desember 2007

Mati Rasa

Mati Rasa

Oleh Siti Raudhatul Jannah

Brakk! Duarrrr

Sesaat kemudian sesosok tubuh mungil berseragam pramuka terlempar hingga tiga meter dari ban depan sebuah sepeda motor yang menabraknya. Benturan keras menyebabkan siswi sebuah SD di Kaliwates itu terkulai, sepertinya dia kehilangan kesadarannya. Orang-orang yang ada di sekelilingnya secara otomatis menoleh ke arah sumber suara. Tubuh mungil siswi bernama Kholifah-sebagaimana tertulis di dadanya itu, menderita luka dalam, buktinya dari telinga dan mulutnya menyembur darah segar.

Sepersekian detik kemudian, dua tukang becak yang mangkal di dekat kejadian berlarian ke tengah Jalan Raya Hayam Wuruk, di mana bocah kurus itu terkapar. Salah satu di antara mereka membopong tubuh lunglai itu ke tepi jalan. Sementara lainnya mendekati pengendara sepeda yang menabrak Kholifah. Melihat ada orang yang mendekatinya, si pengendara bukannya turun dan minta maaf. Sebaliknya, dia melaju secepat kilat, hampir pula menabrak si tukang becak. Jelas saja perilakunya mengundang amarah, namun si pengendara keburu lenyap tak berbekas.

Tinggallah Kholifah yang masih terdiam, dua matanya terkatup, darah memenuhi seragamnya. Kedua tukang becak itu kebingungan dibuatnya.

“Anak ini mau dibawa ke mana?”tanya tukang becak berperawakan jangkung kepada rekannya yang bertubuh lebih pendek.

“Ya tentu ke rumah sakit,”sahut si pendek.

“Tapi kalau ditolak bagaimana, kita bukan keluarganya, tidak punya uang pula.”

“Kalau anak ini tidak segera kita bawa, khawatir keburu meninggal. Lihat, dari telinga dan hidungnya keluar darah.”

“Iya, tapi kalau ditanya polisi, terus kita jadi saksi, kita bakal repot. Kita tak bisa kerja lagi hari ini untuk cari makan.”

“Iya ya. Tapi kasihan anak ini, aku bawa saja ke rumah sakit,” tegas si pendek yang langsung teringat anaknya yang juga masih kecil.

Dibopongnya Kholifah ke becaknya, lalu dikayuhnya pedal dengan perlahan. Guna meringkas waktu, Si Pendek memutuskan memotong jalan dengan memutar ke arah kanan di jalan yang sama. Maksudnya bergegas terpaksa bertahan karena rapatnya kendaraan yang lewat. Kondisi serupa terus bertahan sampai 10 menit kemudian. Khawatir nyawa Kholifah tak tertolong, dia berteriak-teriak meminta pengendara yang akan melewatinya, berhenti.

“Stop,stop. Anak ini korban tabrak lari, mau saya bawa ke rumah sakit,”gemasnya.

Rupanya sopir sedan yang diberhentikannya punya nurani. Dibiarkannya dia menyeberang jalan. Namun niat Si Pendek kembali diuji. Sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi kembali menyerempet becaknya. Tak pelak lagi, tubuh gadis kecil yang dibiarkan meringkuk di kursi becak itu kembali terlempar ke tengah jalan. Kali ini lebih keras karena si kecil tengah pingsan. Hempasan kedua itu mengakibatkan aliran darah keluar dari mulutnya.

Tergopoh-gopoh, si tukang becak membopongnya kembali sembari bersumpah serapah. Meski penyerempet itu telah lari dengan asap tebal di knalpotnya, dia terus saja menyumpahinya. Dia semakin khawatir, Kholifah meninggal sebelum mendapat pertolongan medis. Pandangannya nanar mencari bantuan, dia memutuskan minta tolong kepada sopir sedan yang dihentikannya tadi, untuk membawanya ke rumah sakit.

Sama halnya dengan tukang becak jangkung, sopir itu mengelak membawa Kholifah karena khawatir dituding sebagai penanggungjawab kejadian tersebut. Penolakan ini memicu rasa putus asa Si Pendek.

Gimana kalau anaknya sampean yang ditabrak lari pak. Apa sampean tak berpikir ke sana. Terus, tidak ada orang yang mau menolongnya seperti yang sampean lakukan saat ini. Gimana pak?”teriaknya, kali ini buliran air mengalir dari matanya yang cekung.

Si sopir bergeming, tangan kirinya segera memindah tuas kopling dan melaju tanpa sepatah kata pun. Pria paruh baya itu terisak, semakin nyaring. Di tengah tatapan orang-orang sekitarnya yang hanya setia sebagai penonton, dia mengayuh becaknya yang sudah karatan ke arah rumah sakit.

Lima belas menit kemudian, dia menyerahkan Kholifah kepada petugas jaga IRD. Sebelum ditanya, tukang becak itu menyergah. “Suster, jangan tanya apa-apa ke saya, tolong sajalah anak ini, dia korban tabrak lari, dua kali pula. Saya hanya tukang becak, saya juga tidak tahu alamatnya, tapi di beidge-nya ada namanya, Kholifah, di lengannya juga ada nama sekolahnya, sampean telepon saja ke sana,” ujarnya panjang lebar.

Semenit kemudian, dia melangkah lunglai, kembali menekan pedal becaknya untuk pulang. Dia ingat putrinya yang masih kelas satu SD. Tiba-tiba dia rindu padanya. Dia kehabisan gairah untuk mencari penumpang. Tabrakan beruntun yang dialami Kholifah mengingatkannya pada masa lalu. Ketika dirinya remaja, tak ada orang sekitarnya yang cuek manakala melihat korban kecelakaan teronggok di depan mata. Biasanya warga akan ramai-ramai menolong, mencari kendaraan ke rumah sakit, membawakan minum pada korban, bahkan berusaha mencari keluarganya. Begitu banyak yang peduli.

Namun kini, teman-temannya, orang yang dikenalnya, bahkan penonton yang juga berkulit coklat, mengucapkan innalillah ketika melihat korban, hanya melongok sejenak menyaksikan drama kehidupan berlangsung di depan hidung. Tak banyak yang berinisiatif memindahkan korban, memberinya minum, atau membersihkan lukanya. Bahkan ekor matanya sempat menangkap pemilik toko di dekat kecelakaan, terburu lari masuk ke rumahnya. “Mungkin dia takut dipinjam mobilnya,”gumamnya.

Ironi kehidupan di hari yang panas itu membawanya pada suatu kesimpulan, tenggang rasa antar manusia sudah jauh menurun dibandingkan 15 tahun silam. Ketidakpedulian sudah menjadi ideologi. Sepanjang ingatannya, guru madrasahnya pernah berkata, salah satu tanda kiamat tiba adalah lemahnya ikatan silaturrrahmi. Kini, indikasi gurunya itu sudah dialaminya. “Semoga saya tidak termasuk mahkluk yang menyaksikan hari kiamat tiba, Ya Allah,” doanya.@

Tidak ada komentar: