Bayi Pemicu Kesadaran
Aroma udara di sekitarku pekat dengan rasa obat, khas rumah sakit. Sejak mengantre di koridor RS Soebandi, perut ini laksana diputar-putar seperti naik rollercaster, itu, kendaraan mainan yang berputar sambil naik/turun secara ekstrim. Sudah satu jam lamanya aku antre di kursi yang terletak di depan poli gigi dan mulut tersebut. Ya, sudah tiga hari ini gigiku sakit, sampai mukaku bengkak laksana disengat lebah.
Salah besar syair yang dilantunkan penyanyi dangdut negeri ini, menurutku, lebih baik sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati, kita masih bisa makan dan tidur dengan nyenyak. Lha kalau sakit gigi, waduh, makan tak nyaman, tidur tak pulas, juga tak ada sikap yang benar dari semua orang di sekeliling kita.
Termasuk di rumah sakit ini. Sikap petugas jaga antrean begitu menyebalkan meski senyum manis senantiasa tersungging kala memanggil nama pasien satu per satu. Di mataku dia terlalu lambat melayani. Petugas loket tak kalah urakan kala menyuruhku antre sesuai urutan. Saat itu, aku nekat menerobos antrean paling depan karena sudah tidak tahan dengan cenut,cenut, cenut di kepalaku.
Sikap sesama pasien yang tidak peduli terhadap penderitaanku, juga menyakitkan hati.Dua pria dewasa di samping kiridan kananku sibuk dengan koran hariannya. Seorang remaja di ujung kursi panjang yang kududuki, asyik memencet keypad handphone-nya. Jangan tanya sikap ibu-ibu di meja panjang lainnya,mereka malah asyik ngerumpi. Jangankan bertanya bagaimana rasanya sakit gigi sampai pipiku tembem begini,menoleh ke arahku pun tidak pernah. Sungguh terlalu orang-orang ini, sungguh menyakitkan ketika sakit gigi.
Oalah, hampir dua jam lamanya aku menunggu giliran diperiksa. Berarti kian lama pula aku harus menahan rasa akit ini, belum lagi menebus resep dan meminumnya nanti. Kira-kira baru tiga jam lagi aku semenderita ini.
”Samsul, Bapak Samsul,” kata petugas, memanggil seorang pria tengah baya, pengantre yang juga berpipi bengkak. Wah, secercah harapan untukku, segera mendapatkan giliran periksa, soalnya si bapak datang beberapa saat sebelum aku ikut antrean. Harapan itu menimbulkan sensasi menenangkan. Perlahan kusandarkan punggung ke belakang, tepat di atas sandaran kursi kayu panjang putih itu.
Tak sampai semenit berlalu, di ujung lorong yang panjang terlihat empat perawat mendorong ranjang besi, rupanya pasien rawat inap.
Wow, melihat jumlah perawat yang mendampingi, pastilah si pasien sakit berat. Lihat saja, satu tabung oksigen sepanjang satu meteran tersambung dengan selang yang menancap di tubuh pasien. Dari kejauhan, terlihat ada empat buah selang terhubung ke tubuh si sakit.
Sekilas, aku meraba bahwa berat tubuh si pasien tidak lebih dari 45 kilogram. Bayangkan saja, besi pembatas yang melindungi kanan dan kiri pasien yang hanya setinggi 15-20 Cm itu, sama sekali tidak memunculkan perut atau tangan pasien. Biasanya tubuh orang yang diangkut ranjang serupa, minimal tangannya, akan kelihatan dari samping. Ini sama sekali tidak ada yang menyembul. Mungkinkah si pasien sakit keras sehingga tubuhnya sangat terepes.
Bisa jadi, semua pengantre di poli gigi dan mulut itu punya kesimpulan serupa. Buktinya, semua kepala mengarah ke ujung lorong itu. Bak gerakan ritmis, langkah empat perawat itu menjadi perhatian kami semua. Kulirik wajah-wajah di samping, sebagian di antaranya malah melongokkan leher ke arah datangnya beberapa perawat itu, mungkin penasaran untuk mengetahui siapakah yang sakit gawat, hingga harus diantar empat perawat sekaligus, dilengkapi dengan aneka infus pula.
Tak kurang lima menit lamanya, kami menunggu rombongan tersebut lewat. Saking tingginya rasa penasaran kami, teman sesama pengantre di poli sampai berdiri agar dapat melihat pasien super kurus itu lebih jelas. Aku sebenarnya juga sangat penasaran, tapi sakit gigiku rasanya jauh menarik perhatianku. Ah, sakitku lebih parah dari sakit pasien itu, pikirku. Peduli amat, kalau dia sudah lewat tepat di depan antrean, baru aku akan meliriknya.
Sikap yang kupilih ternyata berujung pada penyesalan panjang. Bagaimana tidak? ’penghuni’ ranjang sakit itu ternyata sangat mungil dan kurus. Ya, si sakit adalah bayi yang masih merah. Menurut teman se-antrean yang menanyakannya kepada perawat, si bayi usia 4 bulan itu sakit komplikasi, ya kurang gizi, jantungnya lemah dan ginjalnya tak beres.
Aku tersentak mendengar cerita tersebut. Allaahu Akbar. Makhluk semungil itu harus menanggung derita tak terperi, sakitnya bertumpuk. Selang nampak memenuhi kepalanya, kakinya, dan tangannya yang kurus dan kecil. Ya Allah, betapa nyerinya kulit yang ’tersentuh’ jarum suntik itu, Ya Allah betapa pegalnya punggung yang sudah berhari-hari telentang dihimpit berbagai tabung itu.
Ya Allah. Aku baru sadar bahwa penderitaan bayi itu tak sebanding dengan sakit gigiku. Daya tahan tubuhnya pasti masih rendah, kekuatan dan kemampuannya merefleksikan rasa sakitnya juga masih lemah. Pantas ya, sampai ada empat petugas yang mengawalnya.
Ya Allah. Betapa aku telah sangat aniaya kepada diriku sendiri, lebih-lebih kepada Tuhan-Ku. Diterpa sakit gigi saja, keluhanku sudah tak kenal menit, bahkan tiap detik yang muncul adalah keluhan dan keluhan, marah kepada semua orang. Lebih parah lagi, menggerutu kepada sang Khaliq, mempertanyakannya, mengapa sakit gigi dihampirkan kepadaku. Sungguh tak sebanding dengan penderitaan bayi itu, sakit ginjal, gizi buruk, jantung dan lain-lain.
Ya Allah, aku malu pada diriku sendiri. Aku malu kepada Mu ya Rabbi. Terimakasih Engkau telah menyehatkan jantungku, tulangku, kulitku, mataku, panca indraku, rasaku, dan seluruh jiwa ragaku.
Puji syukur terus kupanjatkan dalam hati, terutama setelah dokter mencabut gigi yang sakit. Pun ketika keluar ke lokasi parkir, ku bertemu dengan seorang pasien yang kaki dan tangannya diamputasi, setelah sepeda motornya bertabrakan dengan sebuah truk bermuatan pasir, minggu lalu.
Sepanjang perjalanan pulang, ingatan terus lekat kepada bayi malang itu. Betapa menderitanya dia. Memori tersebut membelokkan niatku yang semula hendak makan bakso di depan RS, kemudian minum obat yang baru kutebus di apotek. Aku sengaja membiarkan rasa sakit mendera gigi dan kepala. Rasa sakit itu memaksaku untuk terus mengingat betapa Maha Pengasih Allah, bahwa Tuhan masih sangat sayang kepadaku, dengan hanya memberiku sakit gigi, bukan yang lainnya. Terimakasih ya Allah.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar