Songkok Hitam Suamiku
Oleh Siti Raudhatul Jannah
Dua tahun belakangan ini, semenjak suamiku tak memiliki pekerjaan tetap, rumah tanggaku seperti neraka. Saban hari tingkahnya semakin menyebalkanku. Pagi, ketika aku berangkat kerja ke sebuah kantor swasta, dia selalu membuatku tak nyaman dengan pandangannya yang berusaha memberiku semangat. Dia punya kebiasaan baru, mengantarkanku ke muka rumah. Begitu kutoleh, dia masih mematung di tempat yang sama, begitu terus sampai aku lenyap di tikungan jalan.
Tidak, aku tak membutuhkan pandangan dan perilaku itu. Aku hanya ingin dia kerja dan tidak berdiam diri di rumah, titik. Tapi nyatanya tidak demikian. Kala aku pulang kerja di sore hari, suamiku sudah menungguku di teras, lengkap dengan dua balita kami yang masih tertidur kala kutinggal pergi tadi pagi. Jujur saja, aku kadang terharu melihat kesungguhannya, menunjukkan penyesalannya karena belum menemukan kerja yang cocok dengan gelar kesarjanaannya. Tapi rasa haru itu seringkali lenyap manakala anakku menangis minta susu, sementara gajiku tak cukup menafkahi kami sekeluarga dalam sebulan. Paling banter di pertengahan bulan dompetku sudah kosong melompong.
Nah, ketika tak ada uang yang tersisa inilah biasanya hawa rumahku seperti siang pukul 12.00, panas membara.Salah bicara sedikit saja, pertengkaran langsung tersulut bak bensin ketemu korek api yang sudah dices. Bahkan persoalan sandal yang salah letak saja mampu membuat muka kami tertekuk berjam-jam. Sungguh tidak nyaman hidup begini.
Hingga kemarin sore, suamiku tak ada di rumah, karenanya tak ada sambutan seperti biasanya. Ketika kutanya pembantu, dia bilang “bapak sedang rapat di rumah sebelah”. Kupikir rapat apa gerangan, tumben sore begini ada rapat. Setelah solat Asar, kubergegas menggendong si bungsu ke sebelah rumah. Tanpa banyak kata aku duduk di barisan terluar kelompok ibu-ibu. Sepersekian detik kemudian, gendang telingaku menangkap suara yang sangat aku kenal, suara suamiku. O, rupanya dialah yang memimpin rapat tentang upaya pengasapan mengantisipasi serangan nyamuk di musim penghujan ini.
Usai memberikan penjelasan, beberapa peserta rapat mengacungkan tangan, rupanya hendak bertanya sesuatu. Yang mengejutkanku bukan pertanyaan mereka, melainkan sebutan mereka untuk suamiku. “Pak RT, bagaimana kalau bersih-bersih lingkungan kita diadakan serempak pada Sabtu depan?”. Hah, siapa gerangan ketua Rukun Tetangganya?Mengapa mereka memanggil suamiku Pak RT? Sejak kapan dia jadi ketua RT? Belum lepas keterkejutanku terhadap sebutan baru itu, seorang ibu di sebelahku membisikkan sesuatu.”Bu, di awal rapat tadi ada pemilihan Ketua RT baru, suami ibu dipilih karena kami anggap cakap dan bertanggungjawab. Periodenya untuk dua tahun bu, sampai 2008,” papar si ibu.
Hah, yang benar saja, suamiku dinilai orang sekitarku sebagai orang yang bertanggungjawab?Apa tidak salah sangka?Dalam hati aku mempertanyakan kesimpulan warga se-RT, masak iya, pria yang tak mampu menghidupi anak-istrinya dengan wajar disebut cakap dan bertanggungjawab, yang benar saja.
Sembari terus mengikuti alur rapat, diam-diam kuperhatikan sosok suamiku yang tengah berbicara. Ya, ternyata suaranya tegas dengan penampilan meyakinkan, pilihan kata dan intonasinya juga enak di dengar. Kelebihan itu tak pernah kuperhatikan selama ini, di mataku dia hanya pria lemah yang tak punya duit.
Semakin kusimak perkataan suamiku, semakin besar pula keinginanku untuk memperhatikan penampilannya lebih detil.
Saat itu pula kutangkap sesuatu yang mencolok pada kepalanya. Songkok yang menghiasi kepala suamiku ternyata sudah aus, sudah butut. Warnanya tak hitam lagi sesuai aslinya, melainkan merah keunguan, jahitan songkok itu sudah banyak yang lepas, bentuknyapun tak lagi gagah atau tegak. Benar, songkok itu sudah layak diganti. Nanar mataku menyusuri kepala pria lain di ruang tamu tetanggaku itu. Alangkah ironisnya, mereka yang memilih suamiku sebagai Ketua RT justru berpenampilan necis, songkok mereka masih bagus-bagus dengan warna yang masih mentereng.
Lama kelamaan mataku berarir, semakin lama semakin menganak sungai. Takut ketahuan ibu sebelah, kututupi bawah mataku dengan ujung jilbabku.
Ternyata suamiku sabar dalam ketidakberdayaannya menafkahi keluarganya. Kemudian aku ingat, semenjak berhenti bekerja, praktis dia tidak pernah membeli baju atau celana baru, apalagi songkok baru. Suamiku tahu diri, dia tak hendak membeli barang yang akan memberatkan keuangan keluarga, apalagi membebani istrinya dengan permintaan songkok baru.
“Demikian dahulu pertemuan kali ini, kalau ada kesalahan, saya mohon maaf.Wassalaamu’alaikum,” demikian kata penutup rapat yang dilontarkan suamiku. Aku terhenyak dari lamunanku. Bergegas aku mengikuti langkah suamiku ke luar ruangan menuju rumah kami. Di jalan, kuberbisik padanya. “Bagaimana kalau besok kita beli songkok baru, sekalian belanja bulanan,” sapaku sembari menjulurkan si bungsu pada ayahnya. Sekali lagi, jawaban suamiku membuatku terpana. “Tidak usah bu, kalau pun ada uang, lebih baik untuk susunya anak-anak saja,” ucapnya kalem. Jawaban singkat dan padat itu membuatku bertambah kagum padanya. Dalam diam kubersyukur, mata hatiku terbuka terhadap sisi lain suamiku. Walau tidak punya pendapatan tetap, dia sangat sayang pada keluarganya, pamornya juga tidak jatuh di mata tetangga. Aku berdo’a dalam hati, semoga Allah senantiasa sayang padanya.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar