Restoran Penggugah Kalbu
Oleh Siti Raudhatul Jannah
Tak sengaja aku memergoki sejoli tengah duduk di sebuah restoran yang biasa disinggahi masyarakat penempuh jarak Jember-Surabaya. Mereka membawa bayi yang terlihat bersemangat melebarkan mulutnya, begitu si ibu menyuapkan sesendok bubur kepadanya. Si ayah pun tak mau ketinggalan, bak sebuah gerakan ritmis, suapan demi suapan dikunyahnya hingga tandas. Pada hitungan ke enam belas, piringnya bersih tak bersisa.
Entah kenapa, mataku tak hendak lepas dari keberadaan keluarga muda itu. Yang jelas, wajah dan perawakan si ibu membuat otakku tak henti takjub. Mukanya yang oval sungguh eksotis, matanya bulat dengan bulu mata lentik nan panjang. Belum lagi bibir mungilnya yang memerah jambu. Kulit putih si ibu sangat kontras dengan si ayah. Bapak bayi itu, serupa dengan si mungil, gelap, dengan wajah hampir segi empat.
Ya. Mungkin ironisme penampilan itu yang membuat mata ini hanya terpaku pada mereka. Bahkan nasi pesananku pun sampai mengembang bersama kuah rawon, saking lamanya tidak disentuh. Tapi aku rela, jarang ada pemandangan sarkastis yang bisa kujumpai.
Adegan demi adegan berupa gerakan makan mereka, tak luput dari ekor mataku. Karenanya, ketika pada menit ke-35 si ayah bangkit dari tempat duduknya, aku penasaran karena tak sesuai perkiraan akalku. Aku pikir dia akan bangun, menggendong bayinya, dan membiarkan istrinya makan.
Kuperhatikan dia, oh, ternyata pergi ke toilet. Tujuh menit berlalu, batang hidungnya muncul dengan sebatang rokok tersangkut di mulutnya yang lebar. Rupanya dia pegal-pegal, nyatanya punggungnya ditekankan ke kursi sambil menyelonjorkan kakinya. Namun demikian, asap rokok tak henti keluar dari hidung dan mulutnya.
Sesaat berlalu, si pria memperhatikan anaknya yang masih asyik mengunyah bubur tim-nya. Dilihatnya pula si istri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku berkesimpulan dia mulai tidak tahan menunggu, padahal belum satu jam mereka masuk, duduk dan makan di sana. Dilihatnya arlojinya, lalu melangkah ke pintu keluar restoran dimaksud.
Sekali lagi, dilihatnya jam tangan putihnya yang nampak bertentangan dengan baju oranye-nya dan kulit coklatnya. Mungkin tak tahan lagi, dia menghampiri meja makan di mana anaknya masih lahap mengunyah. “Ne’ mangan ojo’ suwe-suwe, engkuk telat sampe’i nang Suroboyo ( Kalau makan jangan lama-lama, nanti telat sampai ke Surabaya-red),” bentaknya kepada istrinya.
Rona wajah si ibu nampak berubah, cukup kentara warna merah di kulit wajah nan mulus itu. “Ana’e lapar mas, ket isu’ ora mandeg blas, mumpung de’e gellem,” tukas istrinya lembut.
“Ayo budal, mangan ambe’ mlaku wae,” tegas si suami.
“Tapi engku’ muntah ne’ disuapin ambe’ mlaku. Si’ ta mas, enteni sedilu’,”si istri membela buah hatinya sekuat tenaga.
Ha, si suami luluh juga pada akhirnya. Sambil berdiri di depan anak-istrinya, dia menempatkan satu tangannya di pinggang, seakan hendak menantang. Matanya nanar menghujam ke arah nyonya-nya. Lima menit kemudian, bubur tim semangkuk kecil telah berpindah tempat ke perut mini putrinya. Balita berwajah persis bapaknya itu terlihat gembira, dekiknya kelihatan ketika si ibu menepuk-nepuk punggungnya agar bersendawa.
Sayangnya, sambutan si ayah tak sepadan dengan keriangan bayi empat bulanan itu. “Wis, awakmu maemo, cepetan,” perintahnya kepada istrinya. Herannya, dia tak berniat menggantikan peran istrinya dengan menggendong anaknya, senyampang istrinya makan. Akibatnya, ibu dan anak itu masih dalam posisi menggendong dan digendong. Di sisi kiri, tangan si ibu memegang putrinya yang kini menyusu di putingnya, di sebelah kanan memasukkan nasi ke mulutnya.
Baru masuk dua suapan, si kecil mengobrak-abrik isi piring si ibu. Menghindari gangguan kecil itu, ibunya menjauhkan piring itu dari jangkauan si mngil. Tentu saja, ada harga yang harus dibayar, si ibu tak mudah lagi memotong empal dengan sendok di piringnya, apalagi menyuapnya. Melihat kejadian tersebut, kesabaran si ayah licin tandas. Direnggutnya tangan kanan istrinya yang sedang memegang sendok, ditariknya agar berdiri, lalu dibentaknya. Untung si ibu sigap mengencangkan tangan kirinya sehingga bayinya tetap dalam gendongannya.
“Terus kapan marine ne’ maeme koyok bekicot. Ayo wis, mulih,” bentaknya. Suara bariton disertai sendok berdenting di lantai itu menarik perhatian pengunjung yang lain. Puluhan pasang mata menohok ke meja nomor 22 itu, termasuk saya. Mungkin tidak nyaman dengan keadaan tersebut, buru-buru disambarnya tas penyimpan barang-barang bayinya. Diseretnya istrinya yang mulai menangis sesenggukan.
Masyaallah, berani sekali pria itu memperlakukan istri dan anaknya seperti budak. Aku yang duduk di dekat mereka sampai kehilangan selera makan. Andai aku pria, sudah kuajak duel pria jahat itu, satu lawan satu. Namun aku tak punya keberanian mencegah penyiksaan itu berlanjut.
Di sisi lain, aku introspeksi diriku sendiri, aku bersyukur kepada Allah, meski anakku telah berjumlah tujuh orang, badanku sudah tak selangsing dulu lagi, kerut di wajahku mulai permanen, belum pernah suamiku memperlakukan ku sehina itu. Aku terus berpikir, gerangan apa kesalahan wanita molek itu sehingga suaminya tega berbuat kasar kepadanya, di depan orang banyak pula.
Selagi sibuk berpikir tentang laki-laki bertubuh gempal itu, eh, dia nongol lagi di pintu restoran. Dia bergegas menuju kasir, rupanya dia belum membayar untuk semua makanan yang dipesan, termasuk sepiring nasi istrinya yang relatif utuh.
Penasaran dengan semua kejadian itu, spontan kuikuti langkah panjang si bapak. Dia bergegas menuju ke sebuah Katana hitam keluaran dua puluh tahun silam. Kulihat dengan jelas, istrinya masih tergugu dengan air mata terurai. Sementara si mungil menangis menjerit-jerit tak karuan. Distater-nya mobilnya dengan gas menderu. Aku benar-benar tak tahan melihat pemandangan itu. Kuhampiri mobilnya dengan setengah berlari.
“Bapak ini kasar sekali, kan kasihan istri bapak belum sempat makan, padahal dia menyusui. Bagaimana ASI-nya mau keluar kalau dia belum sempat kenyang, bahkan belum sempat minum? Saya memperhatikan kalian sejak baru masuk restoran itu,” tukasku dengan pandangan nanar, tepat menuju wajah si bapak. Aku bersiap kalau dia tersinggung dan hendak menyakitiku, minimal mengata-ngatai. Sekilas kulihat ada tasbih di spion dalam mobilnya. Sementara dia tak dapat berkata-kata, kulanjutkan ucapanku padanya. “Kalau tidak salah Anda ini Muslim, bagaimana mungkin bisa sejahat itu kepada orang yang seharusnya dilindungi? Kalau tidak Anda yang menyayangi mereka, lalu siapa yang mau?” lalu kuhentikan ucaanku karena air mata mulai menitik dari sudut mataku.
Suami istri itu sama-sama menatap wajahku. Hanya saja, istrinya bersorot terimakasih, suaminya sebaliknya. Tanpa mempedulikanku lagi, dia menikung di depanku, selanjutnya menggeber mobilnya menuju ke arah Surabaya.
Ya Allah, tulangku seakan dilolosi satu persatu. Belum pernah aku semarah ini sebelumnya, kepada makhluk mana pun di dunia ini. Tapi melihat kejadian tadi, aku lupa kalau aku masih punya anak dan suami yang ingin melihatku pulang dengan jiwa dan raga yang sehat. Lunglai ku menuju kasir, kubayar makanan yang tak jadi kumakan sambil berpesan kepada kasir, kalau ada yang mau, silahkan menikmati menu yang belum sempat kusantap itu.
Tak lama kemudian, aku kembali ke mobil carteran yang kunaiki bersama tujuh orang lainnya. Aku sedih, mengapa kekerasan demi kekerasan senantiasa menerpa mereka yang lemah secara ekonomi, budaya dan politik? Ah, kapan dunia ini bisa sedikit lebih adil kepada yang tak berdaya? Di mana tuntunan agama yang mulia itu mereka simpan? Mengapa tidak mengejawantah dalam tindak-tanduk mereka sehari-hari? Aku sungguh pusing dibuatnya.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar