Rabu, 12 Desember 2007

Ujung Sebuah Kesombongan

Ujung Sebuah Kesombongan

Basri berapi-api memimpin rapat desa di lingkungan Karangsari. Calon profesor di sebuah universitas ternama itu nampak sangat bersemangat memaparkan program kerja yang harus dijalankan orang sekampungnya guna meraih daerah terbaik pada lomba desa terbaik se kabupaten.

Entah karena sempurnanya paparan Basri, atau kesungkanan warga untuk membantah dan mengoreksi, tak seorang pun yang hadir, mengusulkan rencana atau kegiatan penopang. Pria tengah baya itu semakin berkobar. “Jadi, saudara-saudara, kita harus segera membangun gapura baru agar wilayah kita ini nampak gagah, di perbatasan desa utara sepasang gapura, di sebelah selatan juga. Sedangkan di perbatasan timur dan barat sudah ada sungai dan jalan raya sebagai pembatas,” paparnya.

Selanjutnya, Basri mengemukakan angka-angka. “Untuk pembuatan gapura di sebelah utara, hendaknya memakai batu cadas hitam agar terkesan mewah dan mentereng, bentuknya diserupakan burung garuda sesuai lambang negara kita. Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 40 juta. Demikian pula di sebelah selatan. Sebagaimana kita tahu, desa sebelah banyak orang miskinnya, beda dengan daerah kita. Gapura yang gagah akan membedakan status warga sebelah dengan kita. Bagaimana saudara-saudara, apa setuju dengan usul saya,”tawar Doktor Ekonomi di sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya itu.

Semenit kemudian, sebuah tangan kurus mengacung. “Mohon maaf pak Basri, apa tidak sebaiknya bila pembangunan gapura itu ditunda saja. Usul saya, mumpung ini bulan Ramadhan, bagaimana kalau uang yang ada di kas kita digunakan untuk menyumbang warda desa yang miskin, atau memberi pinjaman modal. Dalam tiga minggu terakhir ini sudah ada 3 janda di desa kita, semuanya miskin. Apa tidak sebaiknya kita menyalurkan bantuan kepada mereka. Terkait lomba Desa terbaik, mungkin kita cukup membersihkan rumah dan jalan-jalan di desa kita ini dengan cara bergotong- royong,” papar peserta rapat berperawakan tinggi dan kurus itu.

Tak sampai dua kedipan mata, Basri langsung berdiri dari posisi bersilanya. “Kalau usul di rapat terhormat seperti ini hendaknya memakai acuan program kerja jangka panjang dan pendek Jangan hanya menuruti emosi belaka. Kalau hanya untuk menyumbang Bagaimana? Apa masih ada usul lagi?”nada tinggi Basri menggema seantero ruangan balai desa berkapasitas 60 orang tersebut.”Baik, kalau tidak ada usul lagi, mari kita bicarakan teknis pembangunan dua gapura desa dan jadwal pembangunannya.”janda-janda miskin itu, cukup dari kantong saya saja. Besok saya sumbang mereka.

Tak ada seorang peserta rapat pun yang unjuk suara lagi. Semua rata, mengangguk-angguk tanda mafhum atau setuju. Wajah puas Basri menyapu air muka hadirin yang tak pernah berani membantah semua usulnya, sejak dirinya menjadi warga desa sepuluh tahun silam.

Penduduk desa yang terdiri dari beberapa warga perumahan elit itu umumnya tak suka mendebat. Apa pun yang diusulkan Basri, selalu diiyakan. Menurut Eko, pria yang membantah usul Basri di rapat tadi, warga sungkan karena Basri dianggap warga kelas satu, selain intelek, dia juga sangat kaya, mobilnya saja ada enam- BMW, Mercedes Benz, Ferrari, Nissan, Peugeot dan Land Cruiser, rata-rata keluaran terbaru.

“Kami hidup di tengah warga yang serba berkecukupan, akibatnya, usul dari kami-kami yang miskin tak pernah didengar,” keluhnya.

Basri dan beberapa warga lain sangat bersemangat mewujudkan gapura pembatas desa mereka. Tiga hari terakhir, dia sibuk mengomando pekerja yang terpaksa lembur siang malam meski dalam kondisi puasa. Saking bersemangat, Basri sampai lupa istirahat. Siang-malam dia berada di lokasi pembangunan.

Tiba pada pagi di hari kelima pembangunan gapura. Sejumlah warga berduyun memasuki rumah megah Basri yang luasnya mencapai 800 m2. Rumput di taman rumah yang semula asri, mendadak lusuh diinjak kaki-kaki pelayat. Ya, pagi itu Basri berpulang kepada Ilahi. Menurut istrinya, jantung sang suami mendadak berhenti sebelum sahur, ketika dibawa ke rumah sakit, jiwanya sudah tak tertolong lagi. “Mungkin bapak kecapean mengawasi pembangunan gapura desa,” jelasnya kepada pelayat.

Semakin siang, jumlah mereka yang datang kian meningkat. Aneka mobil baru silih berganti parkir di sekitar rumah Basri. Hanya saja, meski Asar menjelang, tak ada tanda-tanda pemandian jenazah. Para pelayat berbaju necis hanya datang, berbasa-basi kepada keluarga Basri, kemudian pulang, begitu seterusnya.

Eko penasaran dengan kondisi tersebut, meski enggan untuk berbaur dengan tamu almarhum yang ber’kelas’, dia berbegas menemui janda Basri. “Kapan Bapak dimakamkan Bu?”tanyanya perlahan.

“Saya tidak tahu pak, bapak siapa?”

“Saya warga di desa ini juga Bu, rumah saya di pojok jalan dekat gapura Utara. Apakah jenazah sudah dimandikan Bu?”

Bukannya jawaban yang didapat Nyonya rumah. Tersedu-sedu, si Janda baru itu berucap. “Itulah pak, saya tidak tahu caranya, saya belum pernah memandikan mayat. Tamu yang datang juga tak ada yang mengambil inisiatif. Mereka hanya datang lalu pergi beberapa saat kemudian, saya sedih, ketika Bapak hidup, banyak temannya yang siap membantu, kapan saja diperlukan. Kini, menengok jasad bapak saja, mereka enggan.”

Eko tak banyak bicara. Dia segera pamit untuk memanggil warga lain yang masih mau peduli, secara sukarela memandikan mayat Basri. Tak sampai 15 menit, Eko datang bersama 8 warga lainnya, semuanya berpakaian lusuh dengan sandal jepit yang telah pudar warna aslinya.

Memasuki jam kedelapan setelah meninggal, jasad Basri mulai mengeluarkan aroma tak sedap. Teman-teman almarhum semasa hidup, buru-buru pamit untuk pulang manakala jenazah hendak dimandikan. Saudar-saudaranya juga tak mau tahu, semburat meninggalkan lokasi dengan pura-pura mengantar tamu yang hendak pulang, hingga ke lokasi parkir terjauh.Tinggallah Eko dan teman-temannya, sambil menahan nafas mereka membersihkan, memandikan dan mengafani Basri. Bahkan mereka jualah yang mengusung ke kuburan dan menguburnya rapat-rapat.

Melihat kenyataan tersebut, istri Basri histeris sampai pingsan. Begitu siuman, dia memanggil-manggil nama Eko. Manakala sudah di hadapannya, Istri Basri menanyakan kemungkinan suaminya berbuat salah hingga jasadnya berbau busuk dan tak ada yang mau memandikannya.

“Saya tidak tahu Bu. Tapi beberapa waktu lalu, saya usul agar pembangunan gapura digagalkan karena masih banyak orang miskin dan janda di lingkungan ini. Pak Basri bersikukuh dan berjanji menyantuni tiga janda di desa kita seperti yang saya usulkan. Saya tidak tahu, apa janji beliau sudah ditunaikan,”jelas Eko.

Menanggapi laporan tersebut, Istri Basri bangkit, masuk ke kamarnya, kemudian menyodorkan dua tumpukan uang kertas nominal seratusan ribu kepada Eko. “Ini pak, tolong uang ini diberikan kepada tiga janda itu. Sedangkan satu tumpuk yang lain, tolong dibagikan kepada teman bapak yang membantu penguburan tadi.”

Seakan terhentak, Eko menolak menjadi penghantar uang tersebut. Alasannya, dia hanya menunaikan kewajibannya sebagai Muslim, dengan mengurus jenazah Basri sebagaimana mestinya. “Saya tidak minta imbalan Bu,” tegasnya.

Istri Eko melongo. Tak dinyana, orang miskin seperti Eko menolak berjuta uang yang dia berikan. Sungguh berbeda dengan teman dan tetangga terdekat suaminya di kala hidup. Sambil sesenggukan, dia meminta tolong Eko untuk mengantarkannya ke rumah tiga janda dimaksud. Kemudian dilanjutkannya ke rumah Eko dan kedelapan orang lainnya.

Menjelang Maghrib, dia pamitan kepada Eko dan keluarganya. “Saya mohon maaf karena kami telah sangat sombong kepada bapak dan warga lainnya. Terimakasih atas bantuan bapak-bapak sekalian.”

Sudut mata istri Basir kembali berair, dia kembali ke rumahnya dengan kepala tertunduk lesu. Hanya ada satu janji di hatinya, akan berbaur dan berbuat baik kepada para tetangga dan warga desanya. Dia tak ingin mengulang nasib suaminya, dia ingin dikuburkan dan diurus dengan layak, ketika ajal menjemputnya kelak.@ SR Jannah

Tidak ada komentar: