Thinking Out of The Boks
Upaya Sebarkan Islam Damai
Islam, Point of View Laiknya Perusahaan
Menganalogkan visi dan misi Islam laksana tujuan dan cita-cita sebuah perusahaan, diperlukan usaha di luar kebiasaan untuk membangun imej positif publik dunia kepada agama yang diturunkan lewat Nabi Muhammad SAW itu. Runtuhnya menara kembar WTC telah menjustifikasi warga sejagad raya, bahwa Islam identik dengan teroris. Hal ini jelas merugikan pengembangan Islam di masa kini dan mendatang, baik di belahan dunia timur, apalagi di benua bagian barat.
Tentu saja, dibutuhkan perjuangan yang luar biasa untuk mengembalikan anggapan tentang Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Saking kuatnya tekanan terhadap Islam dan penganutnya pasca infiltrasi nilai subyektif yang dikumandangkan Amerika, pemikir dan pemuka Islam tidak hanya dituntut meluruskan penilaian yang tidak benar itu guna memulihkan wajah agama ini agar tidak bopeng.
Lebih dari itu, harus dibuat sebuah lompatan besar, kalau perlu berpuluh kali lipat dari usaha yang dirasa masuk akal, guna meyakinkan masyarakat dunia bahwa Islam tak mengenal kekejaman dan kekerasan sebagaimana yang mereka dengar dan saksikan, melainkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki pemahaman umat Islam sendiri terhadap ajaran Islam yang damai. Untuk itu, para muballigh dapat meniru atau mencari inspirasi dari buku berjudul Thinking Out of The Box for Profit karangan Nur Kuntjoro ini. Former COO sebuah perusahaan ternama, Tupperware
Nur Kuntjoro tak sekedar berteori, melalui kisah-kisah inspiratif, dia juga mengalaminya langsung, melakukannya sendiri, dan terbukti berhasil. Bahkan kiat-kiat inovatifnya tak sekedar relevan dengan pelaku bisnis saja, melainkan bagi siapa saja yang ingin mengubah keadaan yang semula terpuruk menjadi berhasil dengan gemilang.
Di dalam teori pengembangan dakwah islamiah dikenal istilah dakwah bil hal, di antaranya berupa dakwah dengan contoh kongkrit. Nur Kuntjoro juga melakukannya. Mantan manajer di perusahaan kosmetik
Proses ini tidak biasa, terutama karena keadaan yang sudah akut, sehingga memerlukan keberanian menentang arus lewat leadership yang kuat. Demikian halnya yang harus dilakukan para direktur, manajer, enterpreuner dan praktisi dakwah islamiah. Mereka dituntut segera dapat membalikkan keadaan, dari posisi imej Islam yang terpuruk saat ini, menjadi agama yang bersinar, benar-benar menjadi rahmat bagi segenap makhluk Tuhan.
Turnaround, proses yang melandasi pemikiran Think Out of The Box-berpikir di luar kebiasaan, menurutnya memerlukan pikiran-pikiran brilian. “Pikiran yang menembus batas kotak konvensional, thinking out of the box, dan keberanian menentang arus,” papar ayah dari Hanifah ini.
Dalam rangka menerapkan turnaroundnya, Kuntjoro menawarkan pendekatan berbeda. Alih-alih pemangkasan biaya, kala memimpin Tupperware, profesional bisnis ini justru menjamin sembako bagi karyawannya, makan siang gratis, dan tak ada PHK. Padahal kebijakan tersebut ditempuh justru di saat krisis moneter menggila yang ditandai dengan melambungnya harga sembilan bahan pokok pada 1998. Nyatanya, bukan hanya sukses mengangkat performa perusahaan, dia berhasil menaikkan citra dan keuntungan perusahaan sampai berlipat ganda, besar peningkatannya sampai 222%, setelah bertahun-tahun merugi.
Thingking Out of the Box juga berisi ringkasan esensi turnaround yang sukses. Buku yang dipersembahkannya bagi siapa saja yang ingin mengubah keadaan ini memberi panduan check list
Pertama, meneliti laporan laba rugi. Mengacu kepada dakwah Islamiah, seorang pemimpin agama wajib memetakan masalah yang dihadapi umat Islam saat ini. Apa kekurangannya, apa kelebihannya. Hitung juga selisih antara kelebihan dan kekurangan yang dimiliki kaum muslimim guna menapak kepada imej yang lebih baik.Catat apa saja yang bisa dikembangkan dan apa pula yang menjadi sumber fitnah. Antisipasi semua kegagalan lewat perhitungan matematis dan matang.Langkah ini diyakininya sebagai awal sebuah keberhasilan.
Langkah kedua, meneliti gross profit. Dengan mengalisa persentase kelebihan yang dapat dijadikan ‘peluru’, seorang muballigh akan terhindar dari usaha atau perbuatan yang tidak efektif. Dengan demikian, penyeru Islam mempunyai strategi penerangan yang tepat, di antaranya dengan menentukan bertempur di arena commodity, atau bermain di satu niche (ceruk), dalam rangka fokus pada sasaran Dakwah.Dengan kata lain, hindari mencampur aduk subyek dakwah karena hanya berakhir dengan kerancuan. Fokuslah, dengan demikian akan mudah dihitung dan dipilah antara kegagalan atau keberhasilannya.
Praktik ketiga adalah analisa volume. Pada umumnya, pemimpin sebuah lembaga dakwah akan menggenjot kuantitas sebuah pertemuan atau acara yang berupaya mempengaruhi audience dengan menafikan kualitas pelaksanaan dan hasilnya. Padahal kenyataannya, papar Kuntjoro, jumlah audience yang banyak tidak selalu signifikan dengan hasil yang ingin dicapai. Sekali lagi, kualitas perubahan dari sikap dan perilaku audience jauh lebih penting dibandingkan kehadiran ribuan umat dalam beberapa acara yang digelar oleh penggiat dakwah. Tegasnya, audience yang besar tidak berkorelasi positif terhadap pemaknaan positif akan Islam dan ajarannya.
Langkah keempat masih seirama dengan analisa ketiga. Analisis harga jual. Kalau Islam ingin dihormati, dihargai dan dipercaya kebenarannya oleh masyarakat dunia, maka para muballigh harus menjunjung tinggi nilai-nilai agung yang dimiliki Islam. Jangan sebaliknya, umat Islam menginginkan agamanya diyakini dunia sebagai kebaikan bagi semua umat manusia, namun tokoh dengan atas nama Islam justru bertingkah laku sebaliknya. Atas nama Islam, segolongan dari umat Islam merampas hak hidup orang lain tanpa alasan, tidak menghormati hak-hak kaum tertindas dan lemah serta hidup dalam faham hedonisme. Tentu saja hal ini malah menjadi bumerang.
Berkaca kepada Sejarah Masa Lalu
Pada bagian kedua buku ini, Kuntjoro memberikan aneka motivasi melalui kisah-kisah legendaris yang penuh keberanian dan pencapaian tinggi. Dimulai dari penaklukan Britania Raya oleh Julius Caesar, di mana Caesar menekankan bahwa tidak ada jalan untuk kembali, ditandai dengan membakar kapalnya sendiri. Akibatnya hanya tersisa dua pilihan, menang atau mati.
Bisa jadi, konsep jihad seharusnyalah seperti ini. Umat Islam haruslah berjuang terus pantang mundur tanpa memperhitungkan kemegahan duniawi demi tegaknya panji Islam di muka bumi ini. Nyatanya, seperti Caesar, optimismenya terbukti, sejarah mencatat dia mampu membalikkan kalkulasi rasional waktu itu. Di mana jumlah sumber daya lawan melimpah namun tidak mampu menghentikan motivasi kuat pasukan Romawi yang terus menggelora dan haus akan kemenangan.
Masih mengacu kepada semangat kuat pantang mundur tersebut, Kuntjoro mengangkat kisah Lee Iacocca saat melakukan turnaround di Chrysler, perusahaan otomotif ternama di benua barat
Seakan ingin membumikan semangatnya. Penulis juga mengutip keteladanan Tirto Utomo, pendiri Aqua, yang mengawali usahanya dengan memproduksi dan menjual air dalam kemasan yang merupakan sesuatu yang tidak wajar saat itu. Di awal 80-an, di desa-desa di Indonesia jelas belum membutuhkan air kemasan karena di hampir tiap rumah yang berada di sudut jalan, senantiasa menyediakan kendi berisi air minum yang telah diembunkan sehingga berasa segar. Air kendi ini biasanya dibagikan cuma-cuma kepada siapa saja yang lewat depan rumah tersebut. Karenanya, masyarakat jelas tak hendak membeli air kemasan, sudah keluar uang, rasanya ‘aneh’ pula.
Tapi kini, produk Tirto justru lebih disukai dibandingkan air minum yang berasal dari sumur-sumur warga. Sebagian dari kita bahkan seringkali rela tidak beli nasi dan mengalihkannya kepada air kemasan ini.
Penulis juga mencontohkan gudeg cakar ayam Bu Kasno di Jogja sebagai teladan dalam berinovasi. Tindakan di luar mainstream pemikiran umum ini dinilainya sebagai
Sarat Nilai Islami
Seakan ingin menegaskan aliran serta sikap keagamaannya, penulis banyak mengetengahkan anjuran yang sudah dikenal luas di kalangan umat Islam. Di antaranya unsure hikmah. Dia menilai setiap kesulitan akan selalu disertai peluang. Kuntjoro menyitir ucapan orang bijak yang tidak disebutkan namanya:”Tuhan menyediakan cukup banyak peluang bagi Anda, namun Tuhan tidak pernah mengantarkan peluang itu kepada Anda.
Ucapan penulis sangat sejalan dengan makna ayat Alqur’an yang berbunyi: Allah tak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu sendiri mengubahnya.” Atau ayat lain yang berbunyi: Allah memberikan sesuatu sesuai dengan batas kemampuan manusia.”
Pada akhir tulisannya, Kuntjoro menyarankan kepada setiap pemimpin, tentu termasuk pemimpin keagamaan, untuk berani berpikir dan bertindak di luar kebiasaan agar dapat membalikkan situasi yang sulit. Caranya, komunikasi yang efektif. Menurutnya, menciptakan rasa aman dan membongkar penghalang komunikasi adalah kunci penting. Kepada siapapun, dia menyarankan berlaku adil, terus terang, tegas namun tetap bersahabat. Seorang pemimpin, paparnya, harus tetap terbuka lebar untuk mendengarkan curahan hati umatnya. Diakuinya, hal ini efektif memotong jalur formal dan birokratif, demi tercapainya tujuan utama, Islam yang Rahmatan lil Alamin. (SR Jannah)
Judul Buku; Thinking Out Of The Box for Profit
Penulis: Nur Kuntjoro
Penerbit: Quantum
Cetakan: 2006
Tebal: 123 halaman
Riwayat Hidup Singkat Peresensi:
Nama : Siti Raudhatul Jannah
Pekerjaan : Staf pengajar Jurusan Dakwah STAIN Jember
Pendidikan : Sarjana Dakwah IAIN Sunan Ampel
Pengalaman : Redaktur Ekonomi Harian Nusa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar