Rabu, 30 Januari 2008

Antara Peringatan, Ujian dan Azab


Bencana Melanda Darat, Laut dan Udara Indonesia,

Antara Peringatan, Ujian dan Azab

Oleh Siti Raudhatul Jannah

Membayangkan hidup damai dan adil laiknya zaman keemasan Islam sungguh nikmat tiada tara. Bandingkan dengan saat ini, seorang anak membunuh teman sepermainannya di Kediri, mayat anak dimutilasi di Malang, siswi madrasah berjilbab diperkosa dan dibunuh dengan sangat memalukan dan bengis di Bondowoso, pejabat terlibat korupsi dipecat namun masih menggunakan mobil dinas di Banyuwangi, bawahan menusuk atasan di Jember, bahkan seorang remaja membunuh ibunya di Wuluhan.

Bayangkanlah, bagaimana kita sebagai anak atau orangtua, mahasiswa atau dosen, dapat tidur nyenyak atau enjoy ber-shopping ria menyaksikan semua peristiwa mencekam tersebut. Lebih parah lagi karena semua tragedi ini terjadi simultan dalam rentang waktu tiga bulan terakhir.

Sungguh ironi, negara yang terkenal subur makmur, bahkan tongkat pun bakal tumbuh hanya dengan ditancapkan di jamrud khatulistiwa ini, tak henti didera masalah. Mari kita runut peristiwa Tsunami Aceh yang disambung dengan gempa Jogja, Pangandaran, Sulawesi hingga Papua. Tak hanya air yang marah, lumpur di Sidoarjo juga murka, bahkan udara yang kita hirup juga tega memusnahkan AdamAir KI 574 dan 104 penumpangnya tanpa bekas.

Sinyalemen apakah ini? Dalam Alqur’an dikenal istilah peringatan bagi umat yang masih mau mengingat Tuhannya, ada juga istilah azab untuk umat yang dinilai ingkar, namun ada pula istilah ujian bagi umat yang bertakwa. Nah, aneka musibah dari laut, udara hingga darat yang menyerbu Indonesia dalam dua tahun terakhir ini masuk kategori manakah?

Kalau dinilai sebagai azab, sepertinya tak layak manusia Aceh yang dikenal agamis kena Tsunami. Kalau diistilahkan peringatan, nyatanya aneka kemaksiyatan, kemungkaran justru merajalela sehingga umat kita ini ‘jauh panggang dari api’ kepada istilah beriman. Akan tetapi jika disebut ujian kok sampai saat ini tak lulus-lulus juga?

Mengaca pada istilah Azumardi Azra dalam sebuah essainya di sebuah harian nasional pada medio Januari 2007, ragam nestapa berupa tanah longsor di Aceh dengan korban 239 tewas, tenggelamnya kapal Senopati Nusantara yang membunuh 350-an penumpang serta naiknya harga sembako sampai 500 persen dari normal tersebut, merefleksikan minimnya empati yang dimiliki warga negara Indonesia. Saking ‘matinya’ rasa kasih sayang manusia Nusantara, sampai-sampai tak ada sekotak biskuit pun yang dilemparkan para korban lumpur panas Sidorjo. Jangankan sebungkus mie instan, mereka yang terpaksa hidup tanpa rumah dan masa depan itu bahkan disuguhi nasi basi lengkap dengan belatungnya. Jangan salah sangka, mereka yang menyubsidi ‘bangkai’ nasi itu adalah dinas dan lembaga terkait lho.

Pada gilirannya, manusia Indonesia mengulangi kebiasaan pemerintah orde baru, yakni mencari kambing hitam dari semua persoalan di atas. DPR yang nyata-nyata memeras uang rakyat lewat PP 137-nya dihujat, Presiden yang mengeluarkan PP yang tidak berkeadilan itu juga dituding, bahkan orang-orang borju yang tidak peduli tetangganya yang bergizi buruk juga diintai.

Menanggapi sinyalemen yang mengarah kepada kehancuran jiwa dan raga ini, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menggelar jumpa pers pada Selasa tanggal 17 Januari silam. Sisinya, meminta masyarakat Indonesia introspeksi dan memperbaiki diri agar badai yang melanda bangsa dan negara ini cepat reda. Salah satu upaya yang dianjurkan segera dilakukan adalah menghentikan kebohongan, kepalsuan, perusakan kehormatan dan martabat sesama serta alam, mencegah korupsi, keserakahan, penghkianatan hukum dan amanat rakyat serta penelantaran rakyat kecil.wallahu a’lam bissowab.@

Tidak ada komentar: