Perempuan dalam Himpitan Kultur
Hukum dan Posisi Wanita
Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan tahun 1979, sampai diratifikasi Indonesia melalui UU no 7 Tahun 1984, belum berekses secara signifikan. Indikasinya, hutang kepada perempuan dalam bentuk beban hidup sehari-hari masih ditanggung perempuan seorang. Dalam masyarakat tradisional seperti kebanyakan ditemukan di Indonesia, perempuan masih jadi pemikul terbanyak beban hidup ini.
Padahal ceramah atau tulisan mengenai teori dan teologi lelaki dan perempuan dikategorikan sebagai dua kutub semartabat yang korelatif, cukup marak. Namun kenyataan real empiris historis-nya masih jauh panggang dari api.
Terutama mengacu pada banyak kasus kekerasan dan ketidakadilan pada perempuan yang terjadi pada kelompok masyarakat berkelas sosial rendah. Kalau pun ada idealisme yang terwujudkan, hanya perempuan taipan saja yang dapat mendudukkan dirinya selaras dengan pria.
Saparinah Sadli dalam tulisannya yang berjudul Pemberdayaan Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, melihat esensi pengertian kelamin dan jender sering disalahartikan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini sering berdampak pada pembagian kerja seksual di ranah domestik sampai publik. Strereotip jender dan pembagian peran yang berkembang dalam masyarakat inilah yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya diskriminasi terhadap wanita, bahkan mengancam dengan aneka kekerasan.
Pranata menuju perbaikan sudah ditata. Menurut Omas Ihromi, berbagai peraturan perundangan di republik ini telah melarang terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Di sisi lain, kenyataan empirik menunjukkan bahwa wanita lah kelamin yang paling banyak mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Karenanya, Omas mengkritisi pandangan yang mengatakan bahwa hukum yang diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya akan membawa keadilan. Menurutnya, hubungan antara hukum dan keadilan tidak demikian kausal sifatnya.
Alasan Omas, hukum tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang berlangsung ketika hukum dibuat. Hanya saja, dia masih sangat percaya bahwa memberikan keadilan kepada perempuan dapat dilakukan melalui hukum, dengan memperhatikan perubahan sosial dan budaya hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Senada dengan Omas, Nursyahbani melihat bahwa hukum sering dijadikan sarana untuk merampas sumberdaya ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat, sehingga hukum lebih berfungsi melanggengkan proses pemiskinan.
”Dalam kenyataannya, hukum tidak netral dan asumsi bahwa hukum adalah sebuah institusi untuk memperoleh keadilan harus dipertanyakan kembali. Seharusnya wanita tidak menaruh kepercayaan yang besar kepada hukum. Penyebabnya, nilai kultural yang berkaitan dengan seksualitas wanita dan nilai yang mencerminkan ketidaksetaraan jender, mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan hukum.”
Sementara itu, Koesparmono Irsan, mantan perwira tinggi polisi, melihat alasan mendasar pada tindakan kekerasan yang justru dilakukan pejabat yang seharusnya melindungi wanita. Pertama, politik dan hukum itu sendiri mengandung dimensi kekerasan struktural. Pemicunya adalah perbedaan kepentingan antara penegakan hak asasi manusia atau dijalankannya program atas nama pembangunan. Kedua, banyak peraturan perundangan yang tidak mencerminkan HAM. Ketiga, tidak berfungsinya kontrol sosial oleh semua pihak. Dalam hal ini kekerasan juga digunakan untuk penyelesaian konflik yang disebabkan adanya ketidakadilan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
Diakuinya, dalam perkara kekerasan, pada umumnya masyarakat lebih memberi perlindungan terhadap pelaku daripada korban. Korban banyak yang tidak tahu hak-haknya sehingga takut melapor. Di sisi lain, penegak hukum tidak tahu hak-hak korban sehingga sudah puas manakala sudah mampu menegakkan hak-hak pelaku kejahatan.
”Perlindungan terhadap individu korban kejahatan justru ditelantarkan oleh banyak pejabat publik. Sementara penjahat dipelihara, dilindungi dan dirawat oleh pemerintah. Merehabilitasi korban kejahatan, terutama wanita, menjadi sulit karena yang harus dibangun kembali adalah rasa susila dan moralitasnya yang terpuruk akibat kejahatan.”
Dikotomi Publik Vs Domestik
Akan halnya pembagian peran secara seksual yakni dengan menempatkan wanita di rumah dan laki-laki di luar rumah, menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi, perempuan menjadi sangat tergantung kepada suaminya. Kalaupun bekerja, tidak dipandang sebagai manusia yang utuh karena dianggap hanya sebagai pencari tambahan penghasilan keluarga. Akibatnya, perempuan, bahkan pada perempuan PNS, seringkali dianggap tetap lajang sekalipun telah menikah sehigga tidak berhak menerima tunjangan keluarga dan kesehatan karena dianggap telah mendapatkannya dari suaminya.
Ironisnya, pada sistem kapitalisme global yang merajai Indonesia saat ini, kaum perempuan diletakkan sebagai sumber tenaga kerja murah. Celakanya lagi, wanita juga harus mengalami diskriminasi upah dengan laki-laki yang juga berupah rendah. Ini berarti bahwa kaum wanita memperoleh perlakuan lebih buruk di dunia kerja, bahkan kekerasan dan pelecehan seksual, sebagaimana pada kasus buruh Marsinah yang dibunuh karena menuntut kenaikan upah.
Secara politik, perempuan juga dianggap sekunder dan tidak punya otonomi. Suamilah yang menjadi kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik. Karenanya, wanita dianggap milik pria, sehingga pemukulan, penyiksaan psikis dan fisik, penelantaran dan perkosaan dalam keluarga (marital rape), tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Posisi wanita di ranah politik tak kalah mengenaskan. Konstruksi sosial menempatkan wanita tak bisa akfif dalam politik. Pria tak menginginkan Aisyah Amini menjadi Ketua PPP pada Kongres ke III-nya karena dia perempuan. Padahal tak ada yang mampu mengalahkannya dalam hal ketokohan, pengalaman dan kemampuan manajerialnya.
Kenyataannya, wanita jarang mendapatkan tempat yang pantas dalam setiap kegiatan. Posisi ketua atau wakil ketua pasti ditempati pria, wanita cukup di sie konsumsi saja. Sayang, wanitanya juga tak protes sehingga perlakuan ini menuju keabadian. Padahal wanita selalu bisa diandalkan sebagai instrumen kekuasaan, seperti kasus dharma wanita, wanita karya, wanita Kosgoro dan lain-lain di bawah Golkar.
Dalam ranah ekonomi juga mengerikan. Menurut Unesco, konstribusi wanita terhadap ekonomi mencapai 60 persen. Bentuknya berupa waktu yang mereka gunakan untuk rumah tangga yang jelas tidak dibayar. Namun apa yang didapat wanita, mereka hanya mendapat 30 persen dari 60 persen yang telah disumbangkan.
Memang benar, ada yang hilang dalam dunia wanita, yaitu dalam dunia pergerakan. Meski dalam dunia pendidikan wanita relatif setara, tidak serta merta menjamin wanita bisa mumpuni dalam pergerakan. Pasalnya pendidikan tidak menciptakan kepemimpinan. Pemimpin hanya dapat diciptakan oleh pengalaman, yang ini sulit didapatkan karena hambatan budaya dan struktural. Penganut sistem ini percaya bahwa An-nisa’ ayat 1 tentang nafsin wahidatin bermakna Hawa dari tulang rusuk Adam, bukan sebagai species yang sama (homo sapien).
Upaya Menempatkan Wanita Sesuai Fitrah
Konferensi HAM se-dunia di Wina tahun 1993 tak mudah diterapkan di Indonesia. Hal ini karena kendalanya sudah menggurita, bahkan di tingkat struktural, menyangkut sikap masyarakat yang enggan mengakui hak perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai pemaknaan ajaran agama yang tidak tepat, adat dan budaya. Jelas ini tragis, sikap serupa diadopsi menjadi sikap resmi negara sebagaimana tercantum pada penjelasan UU nomor 7 tahun 1984 yang berbunyi; Dalam pelaksanaannya, konvensi tentang pengesahan mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita, wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai budaya, adat dan norma yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.
Namun demikian, dalam 20 tahun terakhir, gerakan perempuan yang menempuh jalur hukum untuk mengubah stigma dan stereotip yang merugikan, terus berlangsung. Telah dicapai kemajuan yang cukup berarti, namun aplikasinya masih terhambat oleh mekanisme kontrol oleh negara. Akibatnya, hukum yang sudah ada hanya sekedar formalitas saja sehingga tidak berhasil mewujudkan perubahan sosial.
Di lain pihak, wanita umumnya belum mengetahui bahwa ada perangkat hukum yang dapat membantu dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Saparinah Sadli melihat, untuk mewujudkan kesadaran jender, diperlukan pendidikan hukum bagi tiap perempuan agar dapat mengetahui dan menggunakan peraturan-peraturan dalam memperjuangkan hak-haknya.@ SR.Jannah
Sumber Rujukan:
1. Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga; Nawal El Saadawi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003.
2. Kontroversi Presiden Wanita, Nur Hidayat, PT Pabelan, Surakarta, 1998
3. Perempuan yang Dihancurkan, Simone de Beauvoir, Bentang Yogyakarta, 2003
4. Perempuan dalam Budaya Patriarki, Nawal El Saadawi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
5. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Maria Ulfah Subadio-TO Ihromi, Gadjah Mada University Press, 1994, Yogyakarta.
6. Perempuan dalam Agama-agama Dunia, Arvind Sharma-editor, Ditpertais- CIDA,2002
7. Potret Perempuan, Nursyahbani Katjasungkana Dkk, PSW UMY-Pustaka Pelajar, 2001.
8. Perisai Perempuan, Alex Irwan, LBH-APIK, Yogyakarta,1999
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Tapi Omas Ihromi dkk, Alumni, bandung, 2000.
9. Perempuan Indonesia, Dulu dan Kini, Mayling Oey Gardiner dkk, Gramedia,Jakarta, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar